Sabtu, 01 September 2007

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya (Shargel dan Yu, 1999). Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi.
Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step (Shargel dan Yu, 1999). Kecepatan pelepasan obat sediaan lepas lambat, yaitu kecepatan disolusi dianggap selalu lebih lambat daripada kecepatan absorpsi, atau dengan kata lain kecepatan disolusi merupakan rate limiting step. Pengaturan absorpsi sistemik obat bentuk sediaan lepas lambat dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan disolusi (Notari, 1980).
Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model fisika yang umum (Abdou, 1989).
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari model-model tersebut.
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat seperti terlihat pada gambar 1 berikut (Banakar, 1992)

Gambar 1. Model lapisan difusi (Banakar, 1992)


Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film (Banakar, 1992).

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti terlihat pada skema gambar 2 berikut (Banakar, 1992).

Gambar 2. Model barrier antar muka (Banakar, 1992)

Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant) (Banakar, 1992).
c. Model Dankwert (Dankwert model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak seperti terlihat pada gambar 3 berikut (Banakar, 1992).
Gambar 3. Model Dankwert (Banakar, 1992)

Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut atau dengan kata lain disolusi (Banakar, 1992).
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu (Wagner, 1971). Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi (Banakar, 1992).
Ekspresi matematika untuk definisi ini dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut (Leeson dan Cartensen, 1974):
dc / dt = K S ( Cs – C ) ………………………………………… ……( 7 )

dengan dc/dt = kecepatan disolusi bahan obat, K= konstanta disolusi, S = luas permukaan padatan, Cs = konsentrasi larutan jenuh dan C = konsentrasi bahan obat yang terlarut dalam cairan medium.
Persamaan ( 7 ) di atas sebenarnya merupakan turunan dari persamaan Fick pertama, yang secara matematik dinyatakan dengan:
J = - D dc ………………………………………………………...( 8 )
dx
dimana J = flux bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang lewat persatuan waktu melalui suatu satuan luas dengan arah tegak lurus ( mg cm-2dt-1), D = koefisien difusi dan dc/dt = gradien konsentrasi.
Pada jarak ( x ) = h cm dari permukaan bahan obat yang terdisolusi, akan berlaku persamaan:
dc = ( C – Cs ) ………………………………….……………….( 9 )
dx h

Dengan memasukkan persamaan ( 9 ) ke dalam persamaan ( 8 ) diperoleh persamaan:
J = - D ( C – Cs ) ………………………………………………..( 10 )
h

Selanjutnya persamaan ( 10 ) akan diubah menjadi:
dm = D ( Cs – C ) ……..…………………………………..…..( 11 )
dt . S h

dm = V . dc = D S ( Cs – C ) ……………..….…………..( 12 )
dt dt h

dc = D S ( Cs – C ) ……………………….……………….( 13 )
dt V h

Pada persamaan (13), jika D/V.h diganti dengan K (karena masing-masing merupakan tetapan), maka hasilnya akan identik dengan persamaan ( 7 ).
Dengan mempertahankan volume pelarut lebih besar terhadap titik kejenuhan (antara 5 sampai 10 x lebih besar), akan dicapai kondisi sink. Kondisi ini menjadi salah satu parameter eksperimental yang perlu diperhatikan selama uji disolusi, atau dengan kata lain Cs >> C (Hanson, 1991). Pada uji disolusi, apabila kondisi sink maka persamaan disolusi dapat disederhanakan menjadi:

dc /dt = K S Cs ………………….……………………………… ( 14 )

dimana S = luas permukaan padatan, K = karakteristik zat pada temperatur konstan dalam pelarut tertentu dan Cs = konsentrasi larutan jenuh.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Yu, 1999).
2. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).
3. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan Boyland, 1994b; Parrott, 1971).
Pengungkapan hasil uji disolusi dapat melalui salah satu cara di bawah ini:
1. Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.
Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut (Langenbucher, 1972):
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )…………………………….…( 15 )
W
dengan:
W~ = bobot zat padat tertinggi yang dapat larut
W = bobot zat padat yang terlarut pada waktu t
A = tetapan yang mengandung factor-faktor kelarutan, luas spesifik, dan tetapan kecepatan pelarutan pada awal proses (t0)
k = tetapan kecepatan pelarutan
t = waktu
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE) yang diasumsikan sebagai berikut:

DE = ∫ y dt x 100% ………………………….…………….( 16 )
Y 100 t

dengan:
∫ y dt = luas daerah bawah kurva waktu t
y 100 t = luas bidang pada kurva yang menunjukkan semua zat aktif telah terlarut pada waktu t
DE = luas bidang ABC x 100%
luas bidang ABDE

100% E D
Prosen
terlarut C


A B
Waktu

Gambar 4. Kurva hubungan prosen zat padat yang terlarut pada waktu t (Khan, 1975)

3. Metode klasik
Metode ini menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T20, T50, T90 dan sebagainya. Metode ini hanya menyebutkan satu titik saja, sehingga proses yang terjadi di luar (sebelum dan sesudah) titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu. T20 misalnya, mengandung pengertian waktu yang diperlukan untuk melarutkan 20% zat aktif (Wagner, 1971).

4. Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml (Shargel dan Yu, 1999)